BINTANG JATUH
Pulang magang aku langsung ke stasiun, paman sibuk
sekali malam ini. Lagi pula aku ingat betul caranya pulang. Sebenarnya ini juga
gara-gara jemuran. Hatiku gelisah terbayang ada maling yang mungkin saja
kebetulan melirik pakaian indahku yang menggantung.
***
Kira-kira kejadian hebat berlangsung
setelah setengah perjalanan di krl (kereta listrik), aku tahu itu karena mataku
benar-benar terjaga saat itu—saat ia tiba. Seolah adegan slow motion di film, gadis itu melangkah masuk bagai bintang jatuh
mendarat sempurna. Dia seusia denganku rambutnya panjang, mukanya oriental, dan
menawan, benar-benar mengganggu konsentrasiku yang sedang celingukan di kereta. Di belakang, ibunya menyusul sambil menenteng
tas. Lalu moment itu tiba, matanya
bertemu mataku, indah sekaligus jadi salah tingkah. Aku grogi, makin grogi lagi
saat dia menuju ke arahku.
Tempat duduk krl sedang padat malam ini, akhirnya
dia hanya berdiri berdekatan dengan ibunya yang berdekatan dengan posisi
dudukku. Aku semakin gelisah, pikiranku menerawang-nerawang: apa yang terjadi
jika ini atau itu yang aku lakukan. Akhirnya setelah plonga-plongo tak berguna dan ditambah kekuatan bulan, keberanianku
bulat. Tuhan izinkan Jakarta menjadi saksi.
Akhirnya…
Niat muliaku
yang menegangkan
gagal.
Terlambat, om-om gendut yang berada di seberang
dudukku tiba-tiba berdiri lebih cepat mempersilahkan tempatnya untuk si ibu dan
anak. Kecut. Untuk menutupi malu karena sudah terlanjur berdiri aku pura-pura
saja meregangkan badan. Iya, menyedihkan, dan jangan-jangan…. Ah, ternyata
benar gadis itu tahu kejadian bloon
apa yang barusan terjadi. Gadis itu tertawa geli melihat aksi gagalku yang
ditutup tidak rapi dengan gerakan ‘meregangkan badan’ yang ala kadarnya, meski
begitu, ada senyumnya.
Lalu kejadian
yang tidak terduga terjadi, secara ajaib tempat dudukku yang sempat kosong
beberapa detik ditinggal berdiri empunya yang gagal keren tiba-tiba sudah
terisi, ibu-ibu kantoran berkostum serba hitam sudah duduk di atasnya. Tunggu
dulu, dari mana datangnya ibu-ibu kantoran ini? Memangnya bagaimana aku
menyadarinya jika bermenit-menit fokusku hanya untuk si Bintang Jatuh. Halah.
“Nggak papa lah dek, olahraga biar kuat,” saut
ibu-ibu kantoran itu yang paham dengan ekspresiku.
“Err, iyya bu olahraga berdiri malem-malem di
kereta,” jawabku sedikit kaget.
“Harus ikhlas, biar nanti dibales di akherat,” lanjutnya
sambil bersiap tidur.
Aku cuman diam, melangkah tak tentu lalu menggenggam
erat pegangan di bawah atap krl. Suasana kembali tenang, sambil membenarkan gelagatku
yang menyedihkan aku mencoba kuat. Kebetulan atau rencana Tuhankah?
bisa-bisanya aku tak sadar melangkah dan berhenti di sebelah buntelan lemak
perusak image, om-om gendut tadi.
Beliau, eh ‘beliau’ terlalu bagus untuk perusak. Tapi yasudahlah. Beliau
sepertinya bersiap turun di stasiun berikutnya. Lalu suara seraknya menegurku
sebelum aku berhasil menghindarinya, “Sudah bagus kau punya niat, tak usah kau
ragu lah nak. Dia memang cantik, kurang cepat saja kau, hahaha..” Jleb.
‘Bbbzzzhh’ pintu krl terbuka. “Nah aku turun dulu,
selamat malam nak,” om gendut itu meluncur keluar, mulus bagai agar-agar kenyal
yang kelebihan air.
Aku bengong. Aku garuk-garuk kepala.
Setelah semua hal memprihatinkan itu, Tuhan
sepertinya kasihan kepadaku Dia menjawab doaku yang diam-diam kuselipkan dalam
hati.
“Duduk dek!”
suara wanita, bukan si gadis—itu suara ibunya.
“Saya tante?” tanyaku sambil tolah-toleh, mencari-cari
orang lain yang mungkin juga dipanggil ‘dek’.
“Emangnya siapa lagi yang lagi olahraga berdiri malem-malem
di kereta?” gadis Bintang Jatuh itu menyaut sambil cekikikan, wow dia barusan bicara padaku.
Memang, pas om gendut itu turun banyak penumpang
lainnya juga turun, dan sedikit penumpang baru yang naik, walau lebih renggang
dari sebelumnya krl tetap padat. Hanya saja, tempat itu kemudian kosong, tempat
di sebelah Ibunda Bintang Jatuh.
“Eh, apa, eh iya,” gelagat mainstream cowok waktu
ditegur cewek yang memikat hatinya.
Iyahh grogihh sekalihh. Lalu sambil malu-malu mau, aku duduk dengan diawali
Bismillah dan dilanjutkan Alhamdulillah.
“Sendirian aja dek?” tanya ibunya lagi.
“Iya te,” aku berusaha se-rileks mungkin agar
terlihat cool di depan anaknya.
“Bukan asli Jakarta yah?” terbongkar. Ketauhan logat
ku yang medok.
“Eh hehe, iya te.”
“Kok iya iya aja. Aslinya mana?” masih si ibu,
padahal aku berharap anaknya yang melanjutkan.
“Aslinya saya pengen anaknya tante, eh eh. Maksudnya
asli Banyuwangi te. Aduh” keceplosan yang luar biasa tolol. Ibunya kaget, lalu
kembali tersenyum ramah. Kemudian, diam sesaat. Si anak menahan tawa mendekap
mulutnya dengan tangannya.
Hening, cukup hening kecuali suara mesin krl yang
bersorak rata tapi gagah.
***
“Makasih yah
bang. Hihi,” gadis itu akhirnya bicara lagi. Sambil memiringkan kepalanya agar
dapat melihat dan terlihat, wajahnya cantik masih tergenang sisa senyuman.
“Eh, makasih kenapa?” jangan bilang—
“Sudah mau
kasih tempat duduknya walau nggak jadi, hihihi,” ah, sudah kuduga.
“Oh, itu. Oh iya. Hehe, sama-sama,” aku gagal keren.
Ibu dan anak itu kemudian saling merangkul sambil
saling tertawa.
“Dari mana dek, kok malem-malem sendirian?” ibunya
lanjut bertanya, lagi.
“UI.”
“Abang kuliah di UI?” si anak langsung menyambar.
“Nggak, cuman bantuin paman di teater. Sekalian
liburan aja sih.”
“Teater?.....Ooh..Oh acara teater itu?” seolah-olah
hal yang luar biasa baru saja kuucapkan. Tiba-tiba tiba-tiba (sengaja diulang)
dia langsung pindah tempat ke sebelah kanan ibunya dan sebelah kiriku. Di
sampingku. “Aku tau aku tau bang, acara itu kan, teater itu kan. Aku liat
looh..”
Sejak kalimat itu, kita makin hanyut mengobrol dan
ketawa-ketawa kecil. Lucu, ketemu di krl dan langsung banyak cerita. Aku jadi
ingat pesan guru waktu SD beliau yang aku lupa namanya berpesan agar tidak
berbicara dengan orang yang nggak dikenal. Seandainya bertemu guru itu, aku
harus mengatakan padanya “Ibu guru… untuk
kali ini.. Berbeda.” Sambil mengangguk mantap.
“Jadi abang baru pertama kali ke Jakarta dan uda
berani keluar malem sendiri, waaooww.”
“Biasa aja.”
“Ceilah
bang gaya bener. Hihihi. Terus terus gimana cewek Jakarta sama cewek Banyuwangi
bang. Cantik maaaana ?”
“Sudah jelas
lebih cantik calon ibu anak-anak ku. Kamu,” hatiku meraung. Tapi jelas
lisanku tidak melepas itu.
“Kepo,” cuman itu yang keluar.
“Yah abang aaah.”
Aku menaikkan bahu.
***
“Hmm. Aku boleh tanya gak.…”
“Tanya apa bang ?”
Ini bukan
sesuatu yang buruk, ini seharusnya wajar untuk aku katakan. Aku sadar mungkin
memang terlalu cepat, tapi naluri ku sudah melambung. Ini rumit dan susah
dimengerti, perasaan keingintahuan ini muncul saja tiba-tiba.
“Anu.. jadi..”
Gadis di hadapanku ini entah kenapa tetap terlihat
cantik sekalipun dengan raut penasarannya.
‘Bbbzzsstthh’ Pintu krl tiba-tiba otomatis terbuka
(lagi), kereta berhenti sejenak. Berbeda, jantungku justru semakin kencang
berdebar.
“Eh, btw abang turun dimana?” dia menyela, sebelum
aku sempat melanjutkan.
“Tebet,” aku masih fokus menyusun kata-kata yang pas
untuk dilanjutkan. Sampai tidak menghiraukan sekitar.
“Loh.. Ini bukannya Tebet yah?”
Buyaarr.
***
“HAH ? serius. Aduh. Gimana yah…?”
“Buruan turun bang, ntar nutup loh pintunya.”
Waktu memang
kadang-kadang menyebalkan. Begitu cepat berlalu saat semuanya indah. Aku buru-buru
lari turun dari krl sampai melupakan semuanya. Sampai menelan kata-kata yang
sudah siap kususun. “Boleh minta pin BB
nya gak?” sesederhana itu. Cemen.
Hilang sudah.
Aku berdiri di luar kereta, membalas lambaian tanganya melepas pertemuan
singkat ini. Terus ? Sudah ?
Belum
Aku baru ingat.
“Sampai ketemu lagi di teater bang!” Ucapnya
setengah berteriak tadi.
Lusa dia akan
datang di acara teater paman.
Iya, kau akan
datang. Kau yang bahkan aku baru ingat aku tak tau namamu. Sampai bertemu lagi
lusa. Bintang Jatuh.
lucu juga ceritanya cerita pendek ini, membuat tersenyum..
BalasHapus